Layercommunity's Weblog

Situs Konsultasi Manajemen Layer

Archive for the category “Market Analysis”

Peternak Layer Hirup Nafas Baru

            Lega sudah rasanya bagi peternak petelur dalam menahan “dalamnya” harga telur yang semenjak pertengahan puasa tahun lalu atau sekitar Bulan September 2009 yang harganya ambruk sampai saat sekarang dimana puasa hanya tinggal sebulan lagi.

            Memang harga sudah mulai membaik semenjak awal Juni lalu dimana harga telur dalam kisaran Rp 11.500,- dan sampai saat ini yang sudah menembus level harga Rp 13.000,-.  Meskipun merasakan “duka” yang mendalam bagi peternak petelur karena saking lamanya harga tidak kunjung bagus, namun harga saat ini dirasakan seperti hembusan nafas baru, tentunya bagi yang ayam petelurnya masih tersisa.

            Kalau sejenak bersedia meluangkan waktu untuk berpikir, mengapa sedemikian parah dan lama harga tersebut ambruk, maka teori klasik yang selalu menjadi perdebatan bagi peternak petelur adalah supply dan demand. Harga yang rendah kemungkinan bisa diakibatkan oleh dua hal antara lain : supply-nya terlalu banyak atau demand-nya yang sedikit.

            Sekedar mengingatkan saja yang terjadi pada tahun 2008.  Saat itu harga telur rata-rata cukup bagus  Harga telur sempat menyentuh harga Rp 13.500 bahkan lebih.  Fenomena inilah yang secara tidak langsung mendorong banyak pemain baru di business ayam petelur ini. 

            Di Jawa Tengah sendiri saat itu pemain baru begitu menjamur mulai skala 1000 ekor sampai 5000 ekor.  Banyak pemodal yang sebelumnya berasal dari business lain misalnya pengusaha kayu, pengusaha tembakau, dan masih banyak pengusaha lain yang berminat terjun dalam business ayam petelur.  Belum lagi para pemain besar pun khabarnya juga banyak yang menambah kapasitas produksinya.

            Khabarnya, fenomena seperti ini juga terjadi di daerah lain.  Sehingga diakui atau tidak pergerakan jumlah populasi ayam petelur menjadi sedemikian pesat meningkat.  Bahkan menjelang harga telur yang mulai turun pada akhir tahun lalu itu banyak peternak yang mengindikasikan bahwa populasi secara kasar mencapai lebih dari 95 juta ekor. 

            Jumlah tersebut memang tergolong banyak, sehingga mau tidak mau sangat mempengaruhi pada harga telur.  Ironisnya, harga telur yang rendah tidak serta merta bisa berubah dalam waktu yang cepat. Perubahan harga telur itu tidak bisa cepat berubah naik seperti yang diharapkan karena banyak pertimbangan dari peternak untuk mau mengurangi populasinya, misalnya kendala harga ayam afkir yang juga rendah di saat harga telur rendah.

            Salah satu  pertimbangan pokok yang selalu dipikirkan peternak saat mau mengafkir ayamnya adalah harga afkir. Pada saat awal puasa tahun lalu atau akhir Agustus 2009 harga afkir tertinggi menyentuh harga Rp 14.500,- namun pada pertengahan puasa harga berubah dengan cepat,  turun ke harga Rp 9.000,-.  Sebuah penurunan yang drastic, dan ternyata setelah ditunggu-tunggu lama harga afkir tidak kunjung membaik. 

            Semakin ditunggu lama, tetap tidak membaik pula sehingga populasi yang sudah sekian banyak ini tertahan, yang akhirnya berpengaruh pada semakin lamanya harga telur ambruk.  Tampak pada  data harga afkir ayam pada kisaran Rp 9.000,- yang bertahan sampai akhir bulan Mei 2010. 

            Kemungkinan yang terjadi adalah peternak petelur semakin tidak kuat dengan kondisi ini, sehingga mau tidak mau dengan harga berapapun ayam diafkir.  Apalagi jika cash flow peternak sudah kalang kabut, maka tidak ada pilihan lain.

            Kondisi lain yang ikut mendorong memperlama situasi berat saat itu adalah “bantuan” harga bahan baku lokal seperti jagung dan bekatul.  Harga jagung yang justru turun sejak Bulan Februari 2010 ke kisaran harga Rp 2500,- dan harga bekatul yang juga terjun bebas menuju harga Ro 1.500,- seakan-akan menjadi “nafas semu” bagi peternak dan  secara tidak langsung memperpanjang harapan-harapan baru:  siapa tahu dengan mempertahankan populasi yang ada akan segera bertemu dengan harga telur yang baik. Ternyata, banyak peternak yang berpikir demikian sehingga secara kolektif mempernuruk kondisi harga telur yang rendah tersebut.

            Tampaknya bertahan bukanlah suatu pilihan untuk menghadapi lemahnya harga telur tersebut, sehingga banyak diantaranya akhirnya mengurangi populasinya.  Kondisi inilah yang membantu mengangkat harga telur.

Setelah melalui perjuangan yang panjang sekitar 9 bulan berturut-turut, harga baik akhirnya datang juga.  Ini menjadi “berkah” tersediri bagi yang ayamnya masih tersisa. Dan yang lebih menguntungkan lagi adalah kondisi harga jagung dan bekatul yang masih baik di kisaran Rp 2.500,- dan Rp 1.500,- tentunya lebih menambah gairah peternak petelur unutk hidup kembali.

            Bagi peternak yang ayamnya sudah tua pun juga terbantu oleh harga afkir yang saat ini sudah menyentuh Rp 14.000,-.  Banyak yang berharap kondisi ini bertahan cukup lama, terutama untuk mengganti kerugian yang didera tahun ini.

            Kondisi seperti ini mengingatkan pada kejadian-kejadian beberapa tahun yang lalu. Ingatan ini didukung juga oleh analisa beberapa pelaku besar business petelur bahwa harga telur mengikuti siklus tiga tahunan. Artinya dua tahun harga biasanya baik, dan setahun kemudian harga akan ambruk.  Ini adalah sebagai konsekuensi dari munculnya peternak musiman yang ikut meramaikan pasar pada saat harga membaik, dan pada akhirnya membuat kondisi yang over supply.  Memang tidak bisa dihindari, karena dimana ada gula, disitu ada semut. Semoga pelaku peternakan semaikn sadar akan kondisi ini.

Navigasi Pos